17 Mei 2011

Seni tradisional yang terlupakan


Seni tradisional yang terlupakan

SAMBRAH, PERPADUAN SENI BETAWI DAN MELAYU YANG TERLUPAKAN
Tak berlebihan rasanya bila dikatakan, nasib kesenian tradisional Betawi kini tidak ubahnya pakaian pesta yang hanya dikenakan satu tahun sekali untuk memeriahkan pesta ulang tahun Jakarta. Di saat-saat lain, kesenian itu bagaikan terlupakan, sepi dari perhatian banyak orang.

Salah satu kesenian tradisional yang mengalami nasib demikian adalah Sambrah. Padahal, kesenian itu muncul dari kawasan yang akrab dikenal hampir semua warga Ibu Kota seperti Tanah Abang di Jakarta Pusat, tempat pasar tekstil terbesar Jakarta berada.
Sambrah, sebenarnya merupakan gabungan seni musik Betawi, Arab, dan India. Di abad ke-18, Tanah Abang yang sudah menjadi kawasan pusat perdagangan banyak dihuni oleh pedagang dari berbagai tempat, kebanyakan dari Betawi, Arab dan India. Mereka menggabungkan seni musik asal daerah masing-masing, yang kemudian menghasilkan apa yang kini dikenal sebagai Sambrah.

”Sudah adat orang Betawi, kalau malam terang bulan, berkumpul, bermain musik dan bernyanyi beramai-ramai. Itu dikenal sebagai acara bertukar pantun. Alat musiknya hanya gendang dan tamborin. Kemudian orang Arab datang membawa gambus, orang Melayu membawa biola dan orang India membawa harmonium. Jadilah Sambrah,” kata pemimpin kelompok seni Sambrah Betawi Rumpun Melayu, M. Ali Sabeni.

Sabeni sendiri mengaku mempelajari Sambrah sejak masih anak-anak. Masih mengenakan celana pendek. Ali Sabeni, yang merupakan salah satu anak dari pendekar sekaligus tokoh Betawi Tenabang bernama Sabeni, dengan minat besar terus mengikuti kelompok Sambrah yang tengah diundang bermain di suatu tempat. Akhirnya, pada usia 18 tahun, anak ketujuh dari 12 bersaudara itu membentuk kelompok seni Sambrah sendiri.

Dulu, lanjut Sabeni, pemain Sambrah banyak ditemui. Pertunjukan Sambrah pun selalu dilakukan dengan pakem yang lengkap, dengan penari yang menarikan tarian khas Sambrah seperti tari burung putih. Alat musiknya pun relatif lebih lengkap.

Tentu, sambutan masyarakat terhadap kesenian itu juga lebih besar. Sambrah bisa dipastikan selalu hadir menyemarakkan pesta-pesta perkawinan dan berbagai hajatan lain. Bak garam dalam makanan maka pesta masyarakat elit Betawi serasa hambar tanpa kehadiran Sambrah.

Namun, masa keemasan Sambrah pupus dimakan perkembangan zaman. Masyarakat Betawi beralih ke jenis musik lain di antaranya Gambus dan Dangdut, yang menurut Ali Sabeni adalah turunan dari Sambrah sendiri.

Gendang yang dipakai sebagai instrumen utama di musik dangdut adalah berasal dari tipe gendang di Sambrah. Begitu halnya, gitar gambus yang awalnya menjadi instrumen ”wajib” di Sambrah malah ‘pulang-kandang’ ke jenis musik aslinya yang beraliran Timur-Tengah dengan lagu- lagu kebanyakan berbahasa Arab.

Sepi Perhatian

Kini, masa itu sudah berlalu. Pemain Sambrah sudah teramat jarang ditemui. Ali Sabeni bahkan mengatakan, bisa dibilang hanya tinggal kelompoknyalah pemain Sambrah yang masih tersisa. Itu pun tak lagi lengkap.

Para penarinya kini tak lagi bersedia ikut bermain karena sudah berkeluarga, sementara tak ada penari pengganti. Alat musiknya pun sudah banyak rusak, dan tak ada pengganti. Kelangkaan pemain jenis musik ini berimbang dengan alat musiknya.

Sepinya perhatian terhadap kesenian Betawi itu juga dirasakan oleh M. Ali Sabeni. Ini pula yang menyebabkan kelompoknya tak hanya memainkan lagu- lagu lama asli Sambrah tapi sejumlah lagu- lagu barat terkenal atau berlirik Latin pun fasih dibawakan kelompok ini sebagai kiat agar diingat.

”Memang, saya juga prihatin. Kayaknya gimana ye, kurang begitu diperhatikan. Ibaratnya, kita berbuat buruk dicaci maki, tapi kalau kita berbuat baik, ya dipuji tapi nggak diperhatikan. Padahal diperlukan juga. Makanya, bingung juga saya, kok begini,” keluhnya tentang sepinya perhatian masyarakat terhadap nasib seni tradisional Betawi.

Kondisi memprihatinkan itu tentu sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup kesenian Sambrah. Kelompok seni Sambrah Rumpun Melayu bisa dikatakan tak mampu lagi memperbaiki alat-alat musiknya yang rusak, atau membeli alat musik yang belum dimiliki. Bahkan sekedar seragam pemain musiknya pun tak terbeli.

”Seharusnya pemain Sambrah itu memakai seragam baju dan celana warna putih. Tapi karena nggak ada uang, akhirnya ya kita pake baju seadanya saja,” tutur Sabeni sambil menunjuk para pemain musik kelompoknya yang mengenakan baju koko warna putih dan celana panjang warga gelap.

Alat musik yang dimiliki kelompok Sambrah Betawi Rumpun Melayu juga banyak yang rusak, dan belum tergantikan. Beruntung, Sudin Kebudayaan dan Permuseuman Jakarta Timur menyumbang sebuah gitar.

Meski terseok-seok, Sabeni mengatakan hal itu tak mengubah niatnya untuk terus melestarikan kesenian Sambrah. Suatu ketika nanti kesenian itu akan kembali digemari masyarakat. Untunglah, sanak- sudara dan keturunannya juga masih ada yang mau menggeluti jenis musik yang diakrabinya itu.(SH/3 Juli 2004)

Sumber:
http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/6.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar